Saya dan banyak kawan lainnya meyakini bahwa menulis memiliki dampak positif bagi kesehatan mental. Namun, sebuah publikasi membuat saya memikirkan ulang keyakinan itu.
Bagaimana sebenarnya hubungan menulis dan kesehatan mental?
Tulisan saya ini, tentu saja, meskipun me-review publikasi ilmiah, tetapi tidak dimaksudkan untuk rujukan ilmiah ataupun menarik simpulan mutlak. Selain keterbatasan sumber rujukan (yang hanya satu), kemampuan memahami tulisan berbahasa asing juga menjadi kelemahan utama review ini. Untuk itu, mari sebut saja tulisan ini sebagai tulisan “bersenang-senang”.
Pada 2012, Kaufman, J. C., Sexton, J. D., dan White, A. E. memublikasikan studi mereka yang berjudul “The Creative Writer and Mental Health: The importance of domains and style”. Publikasi tersebut melihat hubungan kesehatan mental dengan profesi penulis kreatif. Di paragraf pembuka, Kaufan dkk. menghadirkan sejumlah nama penulis terkemuka dunia, seperti Edgar Allan Poe, Emily Dickinson, Ernest Hemingway, dan Anne Sexton.
“Images of Edgar Allan Poe, Emily Dickinson, Ernest Hemingway, or Anne Sexton may dance through your head as you think of a writer battling inner demons, torments, and alcoholism, all while producing being creatively gifted and deemed ‘genius’ as a result of their work and creative outpourings,” (Kaufan dkk., 2012).
Paragraf yang membuat saya berpikir, “Benar juga, ya. Mereka menulis, tetapi mereka juga berjuang untuk kesehatan mentalnya.”
Hasil penelitian-penelitian pun dipaparkan untuk menunjukkan kerentanan penulis kreatif terhadap masalah kesehatan mental. Dua di antaranya:
1. Penelitian Preti dan Miotto (1999) yang mempelajari data dari tahun 1800-an tentang tingkat bunuh diri pada arsitek, pelukis, pematung, penulis, penyair, dan pemain drama. Penelitian ini menunjukkan bahwa penulis dan penyair memiliki angka bunuh diri tertinggi dibandingkan profesi-profesi lain yang teliti.
2. Schneider (2002) melihat tingkat bunuh pada penulis, seniman, filsuf, komposer, dan matematikawan Swiss dengan membandingkannya pada populasi umum Swiss. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri pada penulis, seniman, dan filsuf lebih tinggi dibandingkan populasi umum mereka.
Bukan hanya mempelajari penelitian yang menunjukkan kerentanan penulis kreatif terhadap gangguan kesehatan mental, melainkan Kaufan dkk. juga mempelajari dan memaparkan cukup banyak penelitian yang menunjukkan efektivitas terapi menulis ekspresif dalam psikoterapi, seperti penelitian pada
1. mahasiswa tahun pertama (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990);
2. penyintas kekerasan seksual (Brown & Heimberg, 2001); dan
3. engineer yang diberhentikan (Spera, Buhrfeind, & Pennebaker, 1994).
Ketiga penelitian itu dan penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian tugas menulis topik emosional selama 15-20 menit selama 3 hari, lebih berdampak pada kesehatan fisik dan mental dibandingkan dengan menulis topik umum. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bawah pemberian terapi menulis ekspresif berdampak pada peningkatan kesehatan mental pada individu yang mengalami depresi ataupun korban pemerkosaan.
Pertanyaan saya selanjutnya, “Kalau menulis bisa menjadi terapi kesehatan mental, mengapa para penulis justru rentan terhadap gangguan kesehatan mental?”
Meskipun keduanya tampak kontradiktif, tetapi Kaufan dkk. mampu menjelaskan (di dalam publikasinya) bahwa keduanya justru saling mendukung dengan menghadirkan faktor-faktor terkait, seperti:
1. jenis tulisan yang dihasilkan (naratif atau bukan);
2. sejauh apa keterlibatan aktivitas “merenung”;
3. jenis kelamin individu; dan
4. ada atau tidaknya terapis yang terlibat dalam penulisan ekspresif.
Simpulan sederhana yang dapat saya tangkap dan tuliskan di sini adalah bahwa menulis dan kesehatan mental memang berhubungan. Namun, apakah hubungannya menguntungkan bagi kesehatan mental atau justru menimbulkan masalah kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh bagaimana kegiatan menulis itu diarahkan.
1. Menulis ekspresif bisa berdampak positif di bawah arahan tenaga profesional dan bisa berdampak sebaliknya jika mengabaikan keterlibatan profesional.
2. Menulis ekspresif sebagai sarana katarsis tetap bisa dilakukan secara mandiri (menulis di diari, misalnya) selama kita tidak terlalu hanyut pada aktivitas “merenung”. Gunakanlah tulisan kita sebagai sarana evaluasi dan mempelajari kondisi diri untuk menemukan solusi-solusi efektif. (DY)
Sahabat bisa membaca publikasi Kaufan dkk. secara open access di: https://www.researchgate.net/publication/261797821_The_Creative_Writer_and_Mental_Health_The_importance_of_domains_and_style
Sumber gambar: https://pixabay.com/id/photos/kesehatan-mental-pikiran-perhatian-4232031/
***
Kamu bisa menghubungi kami di WA: 0815 4814 3787 jika ingin menerbitkan naskahmu.
Cek jenis penerbitan kami dengan mengunduh booklet kami di https://drive.google.com/file/d/1aRtjRuGZKrrYi9gxp-AddMmPsZHkCSp2/view?usp=sharing atau kunjungi web kami di: https://diandracreative.com/terbitkan-bukumu/