Tiga Pria Penerbit DPM

Jeng Dy sedang sibuk menata dagangannya di bawah tenda biru ketika tiga pria paruh baya memasuki warungnya. Angkringan Jeng Dy, begitu biasanya para pelanggan menyebut warung tenda biru miliknya yang menjajakan nasi bungkus, tiga jenis gorengan, dan wedang. Sekadarnya.

Biasanya, warung tenda biru ini hanya didatangi oleh warga di sekitarnya saja yang ingin ngobrol ngalor-ngidul. Mulai dari membahas kejadian hilangnya tertukarnya sandal jepit sejuta umat di surau; si A yang tidak pernah lagi hadir ronda; dan rasan-rasan ringan lainnya. Sekadar melepas penat, barangkali.

Memang, pelanggan warung Jeng Dy ini didominasi para lelaki, terutama bapak-bapak yang masih enggan mengikuti jejak anak-anaknya dengan ngopi di warung berlogo putri duyung. Jeng Dy pun sudah terbiasa ikut tertawa dengan lelucon ala bapak-bapak yang lebih sering garing daripada lucunya. “Siapa aktor yang gampang emosian? Anjasmaramara.” Sekadar menghormati pelanggannya, barangkali.

Hari ini agak berbeda, tiga pria paruh baya yang baru saja duduk di warungnya, benar-benar asing. “Orang jauh,” batinnya. Untungnya, meskipun asing, ketiganya masih mengusung tema rasan-rasan ringan. Hal yang patut disyukuri karena kehadiran mereka yang asing itu tidak memorakporandakan atmosfer warungnya. Tetap ayem, jauh dari gemuruhnya dunia politik.

Kalau digambarkan, penampakan masing-masing dari ketiganya seperti berikut. Satu pria berpostur tambun dengan gaya khas priayi Jawa, bersarung dan berkopiah, dipanggil Gus oleh dua kawannya. Satu lagi yang duduk di dekat anglo wedang jahe, mengenakan hem biru dengan celana panjang hitam kain, serupa para pengajar di perguruan tinggi. Pria kedua ini dipanggil Prof. Sedangkan yang ketiga, tampak lebih pendiam dibanding dua lainnya, mengenakan hem dan membawa ponsel yang secara kontinu berbunyi, bak eksekutif ibu kota. Panggilannya Juragan.

 

Prof: “Ulang tahun Diandra besok enaknya bikin acara apa, ya? Masak ndak ada acara apa-apa kayak tahun lalu.”

Gus: “Yo, tahun lalu kan awal Covid. Wajar kalau enggak ada acara. Ekonomi juga enggak bagus. Bersyukur banget kita enggak sampai PHK karyawan. Semua tetap bisa kerja, perusahaan jalan. Bisa kasih THR lagi.”

Prof: “Haiya, penerbit lainnya banyak yang tumbang, kok. Justru itu, sebagai wujud syukur, ulang tahun besok ini bagusnya ada acara apa gitu. Tasyakuran kecil-kecilan, lah.”

Gus: “Gimana Juragan?”

Juragan: “Oke.”

Prof: “Wah, sip ini. Nanti dibahas sama bocah-bocah penginnya acara apa. Kalau saya sih penginnya yang sederhana aja tapi bisa mempererat tim kerja.”

Juragan: “Setuju. Besok tinggal kukasih arahan ke HRD. Oya, ngomong-ngomong soal ulang tahun, aku jadi sadar kalau usaha kita ini sudah jalan 16 tahun. Benar-benar enggak terasa. Kita memang mulai usaha ini di 2005 dengan serius, tapi enggak nyangka juga kalau bisa sejauh ini. Bahkan sempat mengembangkan kantor cabang ke Jakarta juga sebelum akhirnya semua bisa kita handel dari Jogja. Dari percetakan dan distribusi, terus ke penerbitan. Komplet ada semua.”

Gus: “Iyo, dari awalnya bertiga, terus berempat, sekarang sudah puluhan orang. Alhamdulillah. Berkah, berkah.”

Prof: “Aamiin. Terus masih ingat enggak sama penentuan nama Diandra?”

Gus: “Ya ingatlah, itu kan nama mantannya Juragan. Tapi mantan yang enggak pernah jadian. Haha.”

Juragan: “Wehlah malah bikin keingat. Udah, jangan dibahas.”

Prof: “Haha. Oh, yang dulu itu, ya. Itu sih salah satunya. Tapi lebih tepatnya karena waktu itu lagi booming Dian Sastro. Nama aslinya, kan, Diandra Paramitha Sastrowardoyo. Cantik, pintar, dan mau bergaya modern ataupun tradisional tetap terlihat cocok. Representasi kesempurnaan di dunia. Dari situ kita ambil namanya terus kita modif jadi CV DPM.”

Gus: “Masak sih seperti itu?”

Juragan: “Aku ya gak ingat kalau ceritanya gitu.”

Prof: “Lah, gimana. Sama sejarah itu enggak boleh lupa. Ingat kata senior kita dulu, ‘Sejarah itu berulang hanya pemerannya yang berganti,’ jadi kita perlu mencatat sejarah untuk pembelajaran.”

Gus: “Walah, Prof … Prof … Seriusmen. Sudah, ah, balik kantor lagi, yuks. Proposal penawaran untuk Proyek Kelapa 5 belum selesai.”

 

Dari perannya sebagai penjual sekaligus pendengar yang baik itulah Jeng Dy akhirnya tahu bahwa ketiganya adalah rekan bisnis yang mendirikan CV DPM, sebuah penerbit di Jogja. Sembari menyerahkan uang kembalian ke laki-laki yang dipanggil Juragan, Jeng Dy pun membatin, “Walah, hebat ya perempuan, bisa menginspirasi dunia walaupun perannya sering terpinggirkan. Dipandang ‘sekadarnya’.” (Dy)

Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/vectors/spanduk-turun-wajah-topi-kepala-1295193/

 

***

Kamu bisa menghubungi kami di WA: 0815 4814 3787 jika ingin menerbitkan naskahmu.

Cek jenis penerbitan kami dengan mengunjungi web kami di: https://diandracreative.com/terbitkan-bukumu/